"Untuk Kesatuan dan Kemenangan Ummat Islam"


مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ () مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ 
Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Q.S. Ar-Ruum [30] : 31-32).

Kian waktu suhu percaturan politik negeri ini kian memanas dan meningkat, dari akar rumput yang suka asah parang hingga tingkat atas yang aktif bermanuver dan berkoar-koar. Tidak jarang dalam satu partai harus saling singkir menyingkirkan.

Dari benua Barat hingga Timur dan dari Kutub Utara hingga Kutub Selatan, sistem perpecahan sudah menjadi alam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah perut tidak akan terisi bila tidak berpolitik. Bukannya tidak ada orang-orang yang berilmu yang mengetahui dan mengerti ayat-ayat di atas, namun Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya.

Dari Al Irbad bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘Aalaihi Wasallam bersabda:

 فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud ).

Lantaran begitu dahsyatnya perselisihan setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat, agama pun jadi dipilah-pilah dan diacak-acak, baik faktor internal ummat karena dangkalnya pemahaman, maupun faktor eksternal dari orang-orang kafir yang berusaha memadamkan cahaya agama Allah. Sangat sulit bersatu bila tidak sepaham dan sependapat sepenuhnya.

Berlatar belakang nafsu, kehormatan, harta dan kekuasaan para tokoh yang mengaku para cendekia, ulama, atau pembela “orang kecil”, memamfaatkan jumlah umat yang besar dengan dalih bertujuan menguasai parlemen untuk menegakkan syariat Islam. Selain politik yang menjadi sumber perpecahan, perselisihan dalam memahami Kitabullah dan As-Sunnah menjadi faktor utama terbagi-baginya umat ke dalam skala-skala kecil. Tidak jarang satu golongan mencap sesat dan kafir sesama Muslim yang berbeda paham satu atau dua masalah saja.

Dan akhirnya, setiap golongan merasa paling benar, merasa begitu bangga dengan kelebihan-kelebihan yang ada pada golongannya, mengelu-elukan panjinya. Ada yang begitu bangga dengan junlah massanya, ada yang begitu bangga dengan para ulama sepuhnya, ada yang begitu bangga dengan kesuksesan tarbiyahnya (pendidikannya), ada juga yang begitu bangga dengan jamaahnya yang tersebar di setiap negara, ada juga yang merasa paling tekun dan benar melaksanakan sunnah, ada yang begitu bahagia karena zikirnya yang luar biasa, ada yang merasa paling berhak menghakimi orang yang melanggar hukum Allah, dan masih terlalu banyak yang bisa mereka banggakan di dalam perpecahan itu. Nyaris semua merasa paling benar sendiri. Dan pada akhirnya, terciptalah dunia olok mengolok, satu golongan menggunjing golongan yang lain, satu golongan menghina golongan yang lain.

Padahal Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah segolongan orang merendahkan golongan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka....” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 11).

Biar pun menurut Allah dan Rasul-Nya ber-jama’ah (bersatu) itu haq (benar), tetaplah tidak ada hak bagi umat yang telah ber-jama’ah mengolok-olok dan menertawakan mereka yang masih dalam perpecahan. Berprasangka baiklah. Mungkin ilmu yang belum sampai atau terlalu berhati-hatinya mereka sehingga mereka masih “ikhlas” dalam perpecahan. Dan Allah Maha Tahu akan keberadaan mereka.
Jika berpecah belah dalam agama adalah suatu kemusyrikan (mempersekutukan Allah), maka wajib kita keluar darinya, tidak menempatkan diri kita dalam salah satu pihak yang berpecah.  Karena Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 48).

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 72).

Maka bersegeralah berhenti dan keluar dari perpecahan. Dan Allah Subhana Wa Ta’ala memberikan solusinya (jalan keluar), yaitu:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah seraya ber-jama’ah (bersatu dengan satu pemimpin), dan janganlah kamu bercerai berai,...” (Q.S. Ali Imran [3]: 103).

Khilafah, ber-jama’ah imamah, hidup terpimpin di bawah satu pemimpin (khalifah/imam) adalah yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Ketika perintah ini sampai kepada seorang hamba, maka wajiblah atasnya mencari dan menetapi Al-jamaah yang berada di atas petunjuk, yaitu jamaah yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan sistem kepemimpinan yang mengikuti jejak Kenabian, yang mengikuti cara Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para Nabi sebelumnya, serta Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Dan Allah memberikan petunjuk melalui dialog tanya jawab antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu:

قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

Aku (Hudzaifah)bertanya lagi, ”Apa yang engkau perintahkan kepada kami, jika hal itu menimpaku? Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, ”Tetapilah jama’ah Muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya, ”Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam”. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ”Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.(HR. Bukhari dan Muslim, shahih Muslim dan Ibnu Majah).

Agar terhindar dari percikan kemusyrikan, maka ber-jama’ah-lah dalam Jama’ah Muslimin dan Imam mereka, karena ber-jama’ah (hidup terpimpin dengan satu pemimpin) adalah wujud pelaksanaan dari ketauhidan. Wallahu ‘alam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top