وَأَن لَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاءً غَدَقًا () لِّنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَن يُعْرِضْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا
“Dan bahwasanya: jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu [agama Islam], benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar [rezki yang banyak]. Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat berat.” (Qs. Al Jin [72]: 16-17).Asbabun Nuzul
Dua ayat di atas merupakan bagian dari rangkaian ayat yang menceritakan pertemuan sekelompok jin dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Diriwayatkan oleh Al Bukhari, At Tirmidzi dan lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah membacakan Al Qur’an kepada jin dan tidak pernah melihat mereka.
Ketika beliau bersama rombongan sahabat menuju pasar Ukadz, sesampainya di Tihanah berhenti untuk shalat Fajar. Hal ini menyebabkan berita-berita di langit yang biasa dicuri setan terhalang, malahan mereka mendapat lemparan-lemparan bintang (meteor) sehingga pulang kepada kaumnya.
Setibanya di tempat kaumnya, setan itu ditanya, “Apa yang terjadi sehingga kalian kembali?” Mereka menjawab, “Kami terhalang untuk mendapat berita langit, bahkan kami dikejar bintang-bintang.” Kaumnya berkata, “Tak mungkin terhalang antara kita dengan berita langit. Tentu ada sebabnya. Menyebarlah kalian ke Timur dan ke Barat dan carilah sebab penghalangnya.”
Kemudian mereka menyebar ke Barat dan ke Timur mencari sebab penghalang tersebut sehingga sebagian dari mereka sampai di Tihanah tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berhenti untuk shalat Fajar (Shubuh). Mereka mendengar bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam serta memperhatikannya. Mereka berkata, “Demi Allah, ini yang menghalangi kita dengan berita dari langit.”
Merekapun pulang ke kaumnya seraya berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya kami telah mendengar Al Qur’an yang menakjubkan, memberi petunjuk kepada jalan yang bijaksana, maka kami pun beriman kepadanya dan sekali-kali kami tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Tuhan kami.”
Maka turunlah Surat Al Jin, ayat 1. Sebagai pemberitahuan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, agar kejadian itu diberitahukan kepada umatnya.[1]
Sedang sebab turunnya ayat ke-16 di atas, menurut Muqathil, berkenaan dengan peristiwa tidak turun hujan selama tujuh tahun kepada kaum kafir Quraisy sebagai peringatan atas kekufuran mereka.[2]
Penjelasan
Surat Al Jin dinamai demikian karena sebagian besar ayatnya menginformasikan tentang Jin yaitu sejenis makhluk halus yang berakal dan mempunyai nafsu seperti manusia. Perbedaannya dengan manusia ialah jin diciptakan dari api yang sangat panas sedang manusia diciptakan dari tanah, dan penciptaan jin lebih dahulu dari manusia.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُونٍ (٢٦) وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ السَّمُومِ (٢٧) الْحِجْر.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia [Adam] dari tanah liat kering [yang berasal] dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum [Adam] dari api yang sangat panas.” (Qs. Al Hijr [15]: 26-27).Jin yang pertama kali diciptakan adalah Al Jan, bapak Jin. Ia kemudian berkembang sebagaimana Adam Alaihi Salam. Karena jin diciptakan dari api maka dia mempunyai bobot lebih ringan dari udara dan dapat memenuhi jagat raya tanpa ada yang menghalanginya.
Oleh karena jin dilengkapi dengan akal sebagaimana manusia, makhluk ini mempunyai ilmu pengetahuan, bahkan mungkin lebih maju. Karena penciptaanya dari benda yang ringan, mereka telah mencoba mengetahui rahasia langit. Mereka mendapati bahwa langit penuh dengan penjagaan yang ketat dan penuh panah-panah api.
Sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus, bangsa jin pernah menduduki beberapa tempat di langit untuk mendengar berita-beritanya. Akan tetapi sejak Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus, mereka tidak dapat lagi bertahan di tempat itu.
وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا (٨) وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَن يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا (٩) الْجِنّ
“Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui [rahasia] langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan [berita-beritanya]. Tetapi sekarang barangsiapa yang [mencoba] mendengar-dengarkan [seperti itu] tentu akan menjumpai panah api yang mengintai [untuk membakarnya].” (Qs. Al Jin [72]: 8-9)Jin dan manusia sama-sama makhluk taklifi (yang dibebani kewajiban dan larangan dari Allah). Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyat [51]: 56).Hanya di kalangan jin tidak ada rasul. Rasul mereka adalah rasul yang diutus di kalangan manusia.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membacakan surat Ar Rahman di hadapan para sahabat. Semua terdiam dan tafakur mendengar ayat-ayat yang mempesona itu apalagi sesampainya pada ayat yang berulang-ulang:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Qs. Ar Rahman [55]: 13).Melihat mereka termenung dan tafakur itu beliau bersabda, jin lebih mendalam sambutan mereka dari pada kamu. Ketika ayat-ayat ini aku baca, setiap aku sampai pada ayat فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ mereka menyambut dengan ucapan: لاَ بشيئ من نعمك ربنا نكذب، فلك الحمد
Riwayat ini memperkuat riwayat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Ishak bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berhadap-hadapan dengan para jin.
Sebagian ulama mengatakan bahwa jin tidak dapat dilihat dalam bentuk aslinya, kecuali ia mengubah diri dalam bentuk lain, karena jin dapat mengubah diri dalam bentuk yang dikehendakinya sebagaimana malaikat.
Dengan adanya petunjuk Allah, di antara jin ada yang beriman dan sebaliknya ada yang kafir. Mereka ada yang menganut agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan menyembah berhala.[3]
Suatu riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa jin yang Islam, jika berjumpa dengan manusia muslim, jin itulah yang segan dan lari. Kalau shalat, jinlah yang menjadi makmum di belakang. Dan dijelaskan pula bahwa jin itu sangat segan kepada manusia, baik jin kafir maupun jin muslim.[4]
Oleh karena itu adalah suatu kekeliruan yang besar apabila ada manusia yang minta perlindungan kepada jin karena manusia lebih tinggi martabatnya dari jin.
Pada ayat yang sedang kita tafsirkan ini Allah mengingatkan agar manusia dan jin tetap teguh berjalan (istiqamah) di atas jalan yang telah ditentukan oleh Allah (At Tariqah).
Istiqamah merupakan sesuatu yang sangat prinsip dalam kehidupan di dunia. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam, “Apakah pegangan hidup yang tidak akan dilepaskannya dan dia tidak perlu bertanya lagi?” Beliau menjawab, “Katakanlah: Aku beriman kepada Allah kemudian tetap teguhlah pada pendirian itu.” – H.R. Ahmad.
Para sahabat dan tabiin memberikan pengertian tentang teguh pendirian (istiqamah) sebagai berikut:
- Abu Bakar Ash Shiddiq, yaitu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu.
- Umar bin Al Khattab, yaitu tetap teguh memegang perintah Allah dan tidak berbuat tipu daya seperti tipu daya srigala.
- Utsman bin Affan, yaitu ikhlash beramal karena Allah.
- Ali bin Abi Thalib, yaitu melaksanakan segala kewajiban.
- Abdullah bin Abbas, yaitu tetap teguh dalam melaksanakan kewajiban.
- Hasan Al Bashri, yaitu tetap teguh terhadap perintah Allah, beramal dengan penuh ketaatan dan menjauhi maksiat.
- Mujahid dan Ikrimah, yaitu tetap di atas kesaksian tiada Tuhan selain Allah sampai berjumpa dengan Allah.
- Muqatil, yaitu teguh di atas ilmu pengetahuan dan tidak murtad.[5]
Istiqamah di jalan yang telah digariskan Allah mengandung pengertian agar kita bekerja keras, bersungguh-sungguh, berjuang dengan segenap tenaga dalam rangka mempertahankan dan menegakkan jalan tersebut, orang-orang yang bersikap demikian ini akan dijanjikan oleh Allah mendapatkan “minuman yang segar” artinya kebahagiaan dunia dan akhirat, jasmaniah dan rohaniah.
Istiqamah di jalan Allah tidaklah ringan. Setiap orang yang telah berada di dalamnya pasti akan memperoleh banyak cobaan, sebagaimana yang ditegaskan pada ayat sesudahnya “Untuk Kami coba mereka padanya”. Termasuk kita yang berada dalam “Al Jamaah” yang kita yakini sebagai jalan kebenaran ini.
Untuk menegakkan dan mempertahankan “Al Jamaah” dibutuhkan tenaga yang tidak terbatas. Cobaan yang menghadang sangat banyak. Rayuan hawa nafsu dan serangan musuh akan selalu datang dan untuk menghadapinya kadang harus mengalirkan keringat, air mata bahkan darah. Tetapi orang yang istiqamah yang dapat melepaskan diri dari cobaan dan ujian di atas, dia akan ditunggu Allah dengan air yang menyegarkan tenaga dan Allah tidak akan memungkiri janji-Nya. Namun “barang siapa berpaling dari peringatan Rab-Nya”, karena kurang yakinnya akan janji Allah, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam siksa yang berat (17). Siksa yang berat itu ialah di dunia dan di akhirat.
Hal inilah yang diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sabdanya:
الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْفَةُ عَذَابٌ / رَوَاهُ أَحْمَد
“Berjamaah adalah rahmat dan berpecah belah adalah azab.” – H.R. Ahmad.Orang yang tidak istiqamah dalam Al Jamaah dan sengaja menyimpang dari jalan yang benar pasti akan mendapatkan adzab. Seandainya merasakan kesenangan, maka kesenangan itu hanya dirasakan sebentar setelah itu akan tenggelam dalam azab yang berkepanjangan.
Azab yang akan dirasakan oleh orang yang tidak istiqamah dalam Al Jamaah, terutama adalah hilang rasa ukhuwah (persaudaraan) yang merupakan salah satu nikmat yang terbesar yang dikaruniakan oleh Allah kepada orang yang istiqamah dalam Al Jamaah (Qs. Ali Imran [3]: 103).
Dengan hilangnya rasa ukhuwah maka kehidupan di dunia akan terasa kering, walaupun semua kebutuhan materi tercukupi, seperti yang dirasakan oleh manusia modern sekarang ini di mana mereka merasa sendiri di tengah keramaian. Di Amerika saat ini makin sering ditemui orang main bowling sendirian, tanpa teman atau tetangga.
Sebagai akibat hilangnya rasa ukhuwah tersebut adalah timbulnya permusuhan antar sesama manusia. Dalam sejarah Islam kita jumpai lembaran hitam akibat timbulnya permusuhan yaitu terjadinya perang Shiffin antara pengikut Mu’awiyah dan Ali yang memakan korban ribuan muslim terbaik di zamannya.
Oleh karena itu, tahun redanya permusuhan antara pengikut Mu’awiyah dan pengikut Ali, di masa putranya, Hasan bin Ali, para ulama menamakan dengan Amul Jamaah (tahun kembalinya muslimin dalam satu jamaah).
Namun rupanya kenikmatan berjamaah itu tidak berlangsung lama karena Mu’awiyah, mengganti sistem kepemimpinan Islam dari khilafah kepada mulkan. Sejak saat itulah kesatuan muslim tercabik-cabik dalam perpecahan yang berkepanjangan dan puncaknya adalah hilangnya kekuatan Islam sama sekali dengan runtuhnya Dinasti Usmaniyah di Turki di awal abad ke dua puluh.
Runtuhnya Dinasti Usmaniyah ini membawa hikmah bagi umat Islam yaitu tumbuhnya kesadaran mereka untuk kembali kepada pola kehidupan masyarakat Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya yaitu Al Jamaah.
Akhirnya pola kehidupan Al Jamaah ini terwujud kembali dengan dibaiatnya Wali Al Fatah sebagai Imaamul Muslimin pada tahun 1953.
Dengan telah terwujudnya kembali Al Jamaah maka kewajiban umat Islam yang sudah berada di dalamnya untuk istiqamah mendakwahkannya dan mempertahankannya.
Wallahu A’lam bis Shawwab.
KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A.
Mudir 'Am Pesantren Al-Fatah Indonesia
[1] Jalal Ad Din As Suyuthi, Lubab An Nuqul fi Asbab An Nuzul, Maktabah Toha Putra, Semarang, h. 356.
[2] Al Husain bin Mas’ud, Ma’alim At Tauzil fi at Tafsir Wa At Ta’wil, Jilid V, Dar Al Fikr, Beirut, 1405 H, h. 464.
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cet. 4, 1997, h. 319.
[4] Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz XXIX, Pustaka Islam, Jakarta Cet. 3, 1983, h. 168.
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adzim, Juz IV, Isa Bab Al Halabi, h. 98.
0 komentar:
Posting Komentar