Suriah, yang dituduh melancarkan serangan kimia bulan lalu, adalah salah satu negara yang masih mempertahankan senjata yang sebenarnya sudah ditinggalkan selama 20 tahun terakhir. Negara ini satu dari lima negara yang tidak menandatangani Konvensi PBB tentang Senjata Kimia 1993.
Konvensi ini melarang pengembangan, penimbunan, transfer dan penggunaan senjata kimia. Negara lainnya adalah Mesir, Korea Utara, Sudan Selatan dan Angola. Israel dan Myanmar telah menandatangani konvensi itu tetapi tidak diratifikasi. Libya sudah mengadopsinya pada tahun 2004 dan Irak pada tahun 2009.
Salah satu alasan mempertahankan penggunaan senjata kimia adalah biaya. Senjata ini mudah dibuat dan berbiaya rendah. "Dibandingkah harus berinvestasi mahal dengan untuk mengembangkan senjata nuklir," kata Gunnar Jeremias, Kepala Kelompok Penelitian untuk Pengendalian Senjata Biologi di Pusat Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Perdamaian Hamburg.
Alasan lain, dibandingkan senjata biologis, bahan kimia lebih mudah dikontrol. "Banyak senjata biologi menyebabkan penyakit menular," kata Jeremias dalam wawancara telepon. "Jika Anda menggunakan senjata biologis, Anda tidak akan bisa menduga efeknya. Bisa jadi kembali pada anda. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi pada senjata kimia."
Penggunaan gas klorin oleh pasukan Jerman di Ypres, Belgia, pada tahun 1915 menjadi salah satu alasan penyusunan Protokol Jenewa 1925. Ini adalah perjanjian internasional pertama yang melarang penggunaan senjata kimia dalam perang. Suriah menandatangani protokol pada 1968, sementara AS tidak meratifikasi sampai 1975. Namun kesepakatan ini tak mampu mencegah sejumlah negara untuk memproduksi dan menggunakan senjata ini.
"Daya tarik dari senjata kimia seperti nuklir. Itu adalah kekuatan utama yang dimiliki mereka, " kata Jeanne Guillemin, seorang penasihat senior di Massachusetts Institute of Technology Security.
Meskipun senjata kimia tidak sulit dan mahal dibuat, tapi praktek penggunaannya justru lebih rumit. "Jauh lebih rumit melepaskan senjata kimia dibanding senjata lain," kata David Roberts, Direktur Royal United Services Institute for Defence and Security Studies berbasis di Qatar.
Kompleksitas penggunaan dan penyebaran senjata kimia ditemukan pada kasus sekte Aum Shinrikyo di Jepang. Dua insiden terpisah menewaskan kurang dari 20 orang meskipun memiliki akses ke ratusan liter sarin. Dalam serangan tahun 1995, anggota sekte membawa cairan sarin di dalam kantong plastik lalu menusuknya tepat sebelum keluar dari gerbong kereta.
Senjata kimia menjadi kurang strategis dan penting bagi AS dan Uni Soviet pada tahun 1970an. Mereka lebih tertarik mengembangkan persenjataan nuklir, kata Ralf Trapp, seorang konsultan perlucutan senjata dan mantan penasihat ilmiah di Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW).
Berakhirnya Perang Dingin menjadi "alasan mereka tidak lagi menggunakan jenis senjata ini," kata Trapp. Pada 1993, menyusul penandatanganan Konvensi Senjata Kimia, sejumlah negara memusnahkan persediaan senjata kimia mereka.
Menurut OPCW, per Desember 2011, total ada 51.505 ton atau 72 persen dari semua senjata kimia telah dihancurkan di seluruh dunia. AS setidaknya telah memusnahkan 90 persen stok, Rusia memusnahkan 60 persen dan Libya 54 persen. Organisasi ini menyelidiki Irak pada 2011, meskipun negara ini belum mulai memusnahkan penyimpanan mereka.
Bulan Juni lalu, Somalia adalah negara terbaru yang menandatangani konvensi ini. Mesir dan Angola telah mengadakan pembicaraan informal dengan OPCW. Sementara, perubahan politik di Myanmar membangkitkan harapan negara ini ikut meneken aturan itu pada masa mendatang, kata Trapp .
"Israel adalah satu negara di Timur Tengah yang bisa menandatangani konvensi ini tanpa mau kehilangan posisi strategis," kata Trapp. "Mereka tidak ingin terlihat lemah."
Dengan kalkulasi itu, saat ini tinggal Suriah dan Korea Utara sebagai dua negara yang masih menyisakan senjata kimia sebagai ancaman serius, kata Trapp. Seorang juru bicara kementrian luar negeri Suriah, Jihad Makdissi, mengatakan pada konferensi pers, bulan Juli 2012, "senjata kimia tidak akan digunakan untuk serangan pada warga sipil, tidak pedulu bagaimana krisis ini akan berkembang."
Minggu lalu, peneliti PBB mencoba mencari bukti dugaan serangan senjata kimia di Ghouta, dekat Damaskus. Doctors Without Borders menyatakan tiga rumah sakit di Damaskus telah merawat 3.600 pasien dengan gejala neurotoksis serupa, dalam kurun waktu 3 jam pada 21 Agustus. Tercatat, 355 orang meninggal dunia.
Oposisi Suriah menuduh rezim Presiden Bashar al-Assad bertanggungjawab atas serangan itu. Sementara, Assad yang didukung Rusia dan Iran, menolak tuduhan sebagai "omong kosong" dan mengatakan pejuang pemberontak berada di balik serangan.
Sementara, Presiden AS Barack Obama mencoba menggalang dukungan kongres untuk menyetujui intervensi militer ke Suriah atas dasar penggunaan senjata kimia. Persetujuan Kongres ini setidaknya memperlambat perang sampai 9 September. Menteri Luar Negeri John Kerry menyebutkan ada bukti penggunaan gas sarin oleh pasukan Assad pada sampel rambut dan darah korban.
Sarin dikembangkan ilmuwan Jerman sebagai pestisida pada 1930-an. Zat ini bekerja dengan cara menurunkan kemampuan tubuh manusia mengatur impuls saraf. Menurut Federasi Ilmuwan Amerika korban akan menderita kejang-kejang, kehilangan kontrol tubuh dan koma bila terkontaminasi dalam jumlah besar. Cara membuatnya pun terbilang sederhana karena sebagian besar bahan tersedia secara komersial. Formula sarin juga sudah menjadi milik publik selama beberapa dekade
Sumber : Opini.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berbicara mengenai mie, ijinkan saya berbagi informasi.
BalasHapusBagi pemilik restoran ataupun rumah makan yang memiliki menu mie, mungkin akan kesulitan mencari packaging makanan yang tepat agar kuah dari mie tersebut tidak tembus.
Untuk mengatasi hal tersebut, ini saya berikan referensi. Klik di sini.