Mengenang Kembalinya Al-Quds oleh Generasi Shalahuddin Al-Ayyubi
Tentara Islam dibawah komando Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan kota suci Al-Quds pada 2 Oktober 1187 M/27 Rajab 582 H di malam Isra’ dan Mi’raj. Saat itulah, sang pahlawan legendaris ini mengakhiri penjajahan kaum Salib yang berlangsung selama 88 tahun. Selama rentang itu, kaum Salib seakan menjadi monster ganas dengan membantai sebanyak 70 ribu warga Al-Quds.
Kenapa mereka begitu kejam? Sebab para pasukan itu kebanykan adalah para pemuda brutal yang selama ini mengacaukan masyarakat Eropa kala itu. Mereka sudah terbiasa melakukan pembunuhan, merampok dan merampas akibat masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik serta gap lebar antar kelas di masyarakat Eropa. Maka Paus Paulus Irban II ingin membebaskan Eropa dari pemuda-pemuda krminil itu. Sang Paus Paulus mengasung para pemuda itu dengan janji “pengampunan” jika mereka pergi ke Palestina membebaskan “kuburan suci” dari tangan umat Islam. Alexius dari imperium Bezantium memimpin serangan besar bersama para penjahat itu ke Palestina. Eropa terbebas dari mereka namun negeri Islam yang meradang. Mereka menggilas pasukan Turki dan rakyatnya. Pasukan Salib ini meneyerang Al-Quds.
Bukan hanya umat Islam yang menjadi korban di Al-Quds saat itu. Pasukan Salib juga membunuhi umat Nasharani dan membuang mayat mereka ke luar kota. Jalan-jalan dan gang dikubangi dengan darah. Pembantian itu terjadi di tahun 1099 M setelah warga Al-Quds hidup rukun damai antara Umat Islam dan Nashrani sejak Umar bin Khattab menerima kunci-kunci Al-Quds dari Patrick Shafarnius pada 12 H atau 637 M.
Maret 1187 M, pasukan Al-Fath bertolak dari benteng Damaskus dan mengamankan jalan Mesir Palestina. Sebagian pasukannya membebaskan kota Shafuriah dan Jalil melalui sejumlah pertempuran dan mampu mengunci kemenangan melawan pasukan Salib di pertemuan Hittin pada 3 Juli di tahun yang sama. Disusul pembebasan Thabaria, Akka, dan puluhan pos penting lainnya sebelum akhirnya mengepung kota Al-Quds dan membebaskannya.
Hari pembebasan Al-Quds di tangan An-Nashir Shalahuddin merupakan hasil episode panjang perjuangan. Persiapan pembebasan itu sudah diawali selama bertahun-tahun oleh Imadudin Al-Zanky (gubenur Aleppo yang merupakan bagian dari kerajaan Saljuk) yang telah menyatukan umat demi membebaskan Al-Aqsha dan perjuangan Nuruddin Al-Zanky yang membuat mimbar Al-Aqsha dan disiapkannya beberapa tahun sebelum dibebaskan. Dilanjutkan kemudian oleh Shalahuddin yang memimpin pasukan “Al-Fath” (pembebasan).
Imaduddin Al-Zanky saat itu berhasil menyatukan wilayah utara Irak dengan utara negeri-negeri Syam, setelah berhasil menaklukkan sejumlah kota dan benteng di sana. Dengan langkah ini, ia berhasil menyatukan pembesar-pembesar suku Arab dan tokoh di kota Aleppo (Suriah). Kepemimpinan Imaduddin Al-Zanky dilanjutkan oleh anaknya Nuruddin Al-Zanky. Di masanyalah Damaskus menjadi ibukota perjuangan.
Sementara Shalahuddin Al-Ayyubi sendiri juga pergi ke Mesir untuk memadamkan fitnah kelompok di sana antara dua menteri Shawir dan Dhargam. Setelah beberapa saat, perjuangan Shalahuddin membuahkan hasil. Kekuasaan di Mesir bersatu dengan Syam.
Bagaimana Generasi “Shalahuddin” Mengembalikan Al-Quds
Shalahuddin dari kota Tikrit (Irak) tahun 532 H di tengah keluarga mujahidin. Di masa kecilnya, Shalahuddin sudah menyaksikan keluarga besarnya mengenakan sorban hitam tanda berkabung atas pendudukan kaum Salib atas kota Al-Quds dan hilangnya harga diri bangsa Arab dan Umat Islam. Dari sinilah terpatri cita-cita besar Shalahuddin membebaskan kota suci Al-Quds.
Ketika bicara sosok Shalahuddin, sering kali orang terjebak dalam cara pandang sang tokoh sebagai pahlawan sentral. Lebih tepat Shalahuddin adalah representasi dari sebuah generasi yang mengembalikan kejayaan umat. Namun sekali lagi, pembentukan generasi Shalahuddin sudah ada cikal bakalnya sejak 100 tahun sebelumnya, tepatnya era Imam Al-Ghazali.
Setidaknya itulah testimonial studi yang dilakukan oleh Majid Irsan Al Kailani dalam bukunya Hakadza Zhahara Jilu Shaluddin Wa Hakadza ‘Adat Al Quds (Kebangkitan Generasi Salahuddin dan Kembalinya Al-Aqsa ke Pangkuan Islam). Imam Al Ghazali, Hujjatul Islam, telah membina satu kerangka pemikiran yang harmoni, berpandukan epistemologi ilmu yang jernih dari agama, melahirkan gagasan Islah yang meresap pemikiran generasi selepas itu.
Hampir 2-3 generasi selepas Al Ghazali, kemudian disambut oleh Sheikh Qadir Al Jailani, yang menumbuhkan madrasah penting, yang melahirkan ramai alumni Madrasah Al-Ghazali. Kemudian mereka ini yang menduduki kursi penting dalam pentadbiran negara, mufti agama, panglima tentera dan guru agama. Sheikh Nuruddin Al Zanki, khalifah yang ada ketika itu terkenal dengan sikap zuhud dan alimnya, telah membuka jalan kepada kelahiran Salahuddin Al-Ayubi yang memimpin tentera umat Islam yang akhirnya berjaya mengambil alih kembali Baitul Maqdis.
Mungkin banyak orang melihat sosok Salahuddin dan Al Ghazali secara keperibadiannya, dan tidak nampak kaitan antara dua tokoh ini. Buku Dr. Majid adalah testimonial yang relevan untuk kita kaji dan ambil iktibar.
Shalahudin dan kemenangan perang salib merupakan bagian sejarah yang penting untuk dikaji. Namun kajian-kajian terhadap sejarah kemenangan perang salib ini, menurut Majid Irsan Al Kailani, seringkali sekedar menonjolkan aspek figuritas atau heroisme militer untuk memahaminya. Pendekatan seperti ini memiliki kelemahan. Setidaknya modAl pendekatan seperti ini akan menjauhkan perhatian dari penyakit utama yang ada dalam tubuh umat yang menciptakan mentalitas layak terbelakang dan kalah (al qabiliyah li at takhalluf wal hazimah). Pemahaman yang menonjolkan aksi individu juga bisa menjauhkan umat dari peran yang harus mereka ambil, mengandalkan atau menunggu-nunggu munculnya figur pemimpin untuk menyelesaikan masalah.
Studi yang dilakukan oleh Majid Irsan Al Kailani memberikan kita perspektif bagaimana perubahan sosial (atau rekonstruksi sosial) selama lima puluh tahun (jarak antara jatuhnya Al Quds ke tangan tentara Salib Eropa hingga kembali ke tangan Umat Islam) memberikan andil besar dalam melahirkan generasi Shalahudin. Shalahudin adalah representasi utama generasi hasil pendidikan atau gerakan reformasi (ishlah) sebelumnya.
Majid Irsan Al Kailani menyandarkan penelitiannya pada filsafat sejarah pada teori berikut; Sebuah masyarakat terdiri dari tiga elemen utama; pemikiran (afkar), individu manusia (asykhas) dan benda atau materi (asy-ya’). Masyarakat akan sehat dan baik jika individu dan materi berporos pada pemikiran yang benar. Kedua, matarantai perilaku manusia bermula dari niat, pemikiran dan kemauan yang kemudian menjelma menjadi perilaku praktis. Sehingga munculnya fenomena sosial berawal dari muatan-muatan pemikiran yang kemudian melahirkan tujuan, disusul kemauan yang kemudian melahirkan perilaku praktis. Ketiga, perubahan sosial memiliki pola. Pola perubahan itu bermula dari perubahan yang ada pada diri manusia disusul perubahan pada bidang sosial, ekonomi, politik, militer dst, Muatan yang ada pada diri manusia meliputi pemikiran, nilai, budaya, kebiasaan dan tradisi. Perubahan pada diri (baik menuju keadaan lebih baik dan buruk) untuk efektif berlaku secara kolektif. Sejarah perubahan diri ini dapat dilacak pada keterkaitan perubahan pendidikan (pemikiran) dan fenomena-fenomena sosial yang mengikutinya. Dalam praktek strategi perubahan yang dilakukan bergantung dengan unsur keikhlasan dan ketepatan (strategi).
Pola Pemikiran Umat Menjelang Serangan Kaum Salib
Berdasarkan filsafat sejarah di atas, Majid Irsan, merekonstruksi kondisi atau pola pemikiran yang berkembang pada masyarakat muslim menjelang serangan kaum Salib. Hal pertama yang menjadi catatannya adalah terjadinya perpecahan pemikiran Islam dalam tubuh umat. Fenomena ini bisa dideskripsikan pada munculnya mazhabisme (komunalisme pemikiran atau pemikiran partisan) yang berselisih secara hebat kala itu, dalam aspek aqidah maupun cabang fiqh. Perselisihan mazhab anarkis ini berdampak pada pola pemikiran yang dibentuk atas umat, rusaknya tujuan pendidikan, serta perpecahan dan anarkisme sosial-politik. Selanjutnya pola pemikiran tasawuf dan filsafat yang menyimpang juga memberikan andil besar dalam memformat pola pemikiran umat ketika itu. Iklim pemikiran seperti ini kemudian menjadikan institusi-institusi pemikiran Islam mengalami kejumudan dan menyimpang dari misinya untuk mengarahkan umat.
Dampak Sosial Politik Pola Pemikiran Umat Menjelang Serangan Kaum Salib
Pola pemikiran di atas kemudian memberi dampak pada fenomena sosial umat. Rusaknya aspek ekonomi, karena tidak terformat secara tepat oleh pemikiran, dalam bentuk kemewahan sebagian kalangan konglomerat dan penguasa yang amat kontras dengan kemiskinan banyak rakyat, inflasi yang tinggi. Fenomena kelaparan menjadi gejala yang banyak terjadi kala itu. Anarkisme sosial karena perselisihan antar mazhab muncul dalam bentuk kekerasan-kekerasan yang muncul. Demikian pula aspek politik umat. Tidak banyak tokoh yang memiliki kelaikan untuk menjadi pemimpin umat kala itu. Perpecahan, perseteruan dan kudeta politik merupakan fenomena.
Dalam kondisi seperti ini serangan kaum Salib datang. Secara internal (pemikiran, sosial, politik, ekonomi dan militer) umat tidak memiliki kesiapan. Tidak ada pertolongan yang bisa diberikan untuk umat di sekitar Al Quds ketika itu.
Gerakan Ishlah (Reformasi)
Usaha untuk melakukan reformasi di tubuh umat pasca serangan tentara Salib berusaha dilakukan oleh beberapa tokoh melalui jalur politik, seperti yang dilakukan oleh Nizham Al Muluk. Tetapi efektifitasnya tidak berjalan.
Fase Pertama
Gerakan ishlah (reformasi) selanjutnya, yang dipelopori oleh Imam Ghazali, menggunakan metode al insihab wal ‘audah untuk melakukan rekonstruksi umat. Metodologi ini dilakukan melalui mundur dari lingkungan sosial politik yang penuh syubuhat, memfokuskan pada upaya membenahi diri untuk mengevaluasi dan memperbarui pemikiran, dan kemudian kembali (al a’udah) ke tengah masyarakat dan memulai proses ishlah.
Gerakan Imam Ghazali ini tidak menyentuh secara langsung jihad untuk membebaskan Al Quds, tetapi lebih ditekankan pada kritik diri untuk mengatasi kondisi kelayakan untuk kalah dari tubuh umat dengan melakukan rekonstruksi pemikiran sebagai langkah awalnya. Selanjutnya Imam Ghazali melakukan kritik sosial atas umat; mulai dari ulama-ulamanya, pemimpin-pemimpin sosial politiknya hingga masyarakat pada umumnya. Imam Ghazali juga mendirikan madrasah untuk mendidik kader-kader umat masa depan, dengan pola pemikiran yang baru.
Fase Kedua
Pada fase kedua ini pengaruh Imam Ghazali diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani dengan madrasah dan gerakan reformasinya. Aspek yang ditekankan sama seperti yang ditekankan oleh Imam Ghazali, dengan modifikasi strategi tertentu. Fase kedua reformasi ini persebaran madrasah islah menjadi kian masif dan distributif. Madrasah pusat (seperti madrasah Abdul Qadir Al Jilani) menjadi pusat pendidikan utama (kaderisasi), madrasah modAl ini tersebar di banyak kota-kota besar dunia Islam timur ketika itu. Sedangkan madrasah-madrasah yang terletak di daerah pedesaan berfungsi untuk membimbing umat.
Dampak Reformasi
Ketika Nurudin Zanki dan Shalahudin Al Ayyubi melakukan reformasi sosial politik ketika itu banyak alumni-alumni madrasah di atas yang mengisi banyak posisi penting. Para ulama (cendekiawan) bergabung dalam institusi politik dan militer. Masyarakat juga sudah memiliki kesiapan untuk menerima reformasi itu. Rekonstruksi sosial-ekonomi-politik kemudian menjadi mudah untuk dilakukan. Puncaknya adalah pada jihad militer untuk mengembalikan Al Quds ke pangkuan umat dengan keberhasilan yang spektakuler.
Bagaimana dengan situasi umat saat ini? Jelasnya, ada nuansa kebangkitan kesadaran umat untuk mengejawantakan Islam dalam kehidupan nyata. Ada suasana reformasi diri, mentalitas, pemikiran, sosial, politik dan pendidikan. Ada semangat mengembalikan ruh jihad yang padam. Setidaknya pelajaran ketegaran pejuang-pejuang Palestina menghadapi penjajah Israel, adalah bukti kebenaran tesis di atas. Lihatlah bagaimana kondisi Palestina saat pertama kali dijajah oleh Inggris dan kemudian dilanjutkan oleh zionis Yahudi. Kondisi yang hampir mirip sama dengan kondisi umat Islam di masa-masa penjajahan Tartar di masa Al-Ghazali dan kejiwaan serta mentalitas umat. Namun sedikit demi sedikit kebangkitan umat Islam mulai terasa di seluruh penjuru negeri. Sebagian kemenangan itu bisa dilihat di Jalur Gaza misalnya yang dikomandoi oleh generasi yang mirip karakternya dengan generasi Shalahuddin; yang dekat dengan Allah, zuhud, dekat dengan Al-Quran, memiliki pengetahuan agama di atas rata-rata. Semoga Al-Quds segera kembali ke pangkuan umat Islam. (A. Tirmidzi)
Sumber: Aljazeera, serambiilmu.blogspot, spiritislam.net dll
0 komentar:
Posting Komentar