"Untuk Kesatuan dan Kemenangan Ummat Islam"

Kantor Berita Islam MINA edisi Kamis, 15 Jumadil Akhir 1434 / 25 April 2013 menyebutkan bahwa Lembaga Al-Aqsha Palestina melaporkan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memberikan persetujuan kepada kepala Dinas Yahudi, Natan Sharansky untuk bergerak maju dengan rencananya mendirikan sebuah ruang baru untuk layanan doa dengan menghancurkan sebagian bangunan di Tembok Buraq, kawasan Masjid Al-Aqsa.

Rencana Sharansky tersebut untuk memperluas daerah yang ditunjuk untuk melakukan ritual doa Yahudi di tembok bagian utara ke bagian selatan jembatan Mugrabi, merupakan seperempat wilayah barat Masjid Al-Aqsa yang dihancurkan Israel pada 1967 dan hampir tidak meninggalkan jejak.

Lembaga Al-Aqsa mencatat, klaim Netanyahu meminta Sharansky menyusun rencana untuk menyelesaikan konflik atas doa di tembok Buraq adalah siasat Yahudisasi Kota Al-Quds.

Zionis Israel memang secara sistematis terus berupaya untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsha dengan dalih membangun kembali kuil sinagog Temple of Solomon (Haikal Sulaiman) yang mereka klaim terletak di bawah masjid tersebut.

Dr. Marwan Saeed Saleh, guru besar matematika di Universitas Zayed, Dubai, menyebutkan, sejak 1967 kaum Zionis Israel telah bertekad membangun sinagog, apa pun dampaknya terhadap bangunan Masjid Al-Aqsa. Bahkan kalau perlu masjid itu akan dirubuhkan sama sekali. Sementara ini mereka telah membangun Wailing Wall (Tembok Ratapan), persis di dinding barat Masjid Al-Aqsa. Mereka juga melakukan penggalian-penggalian di bawah Masjid Al-Aqsha dan Masjid Qubah Al-Shakhra. Penggalian itu sudah sampai pada jalan terowongan menuju pintu Al-Maghariba.

Untuk mewujudkan ambisi klaimnya atas Masjid Al-Aqsha, Zionis Israel secara terprogram melakukan kampanye penyesatan dengan menonjolkan foto-foto Masjid Qubah Al-Shakhra untuk mengalihkan perhatian dari Masjid Al-Aqsa. Harapannya, masyarakat dunia akan menganggap Masjid Qubah Al-Shakhra dengan warna keemasan itu sebagai Masjid Al-Aqsa. Sehingga mereka merasa akan lebih leluasa untuk melenyapkan Masjid Al-Aqsa yang sesungguhnya dari muka bumi.

Haikal Sulaiman?

Pejabat Organisasi Konferensi Islam (OKI), Akmaludin Ihsanoglu, memperingatkan Israel untuk tidak sekali-kali melakukan tindakan merusak lokasi Masjid Al-Aqsha dengan alasan untuk membangun sinagog yang mereka sebut dengan Haikal Sulaiman. Menurut Sekjen OKI, apa yang dilakukan Yahudi Zionis itu adalah langkah permusuhan yang nyata terhadap tempat suci dan telah menyentuh sensitivitas akidah umat Islam di seluruh dunia. Apalagi mengatasnamakan Nabi Sulaiman untuk membangun kuil atau sinagog Yahudi.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan, Masjid Al-Aqsha dibangun kembali di atas pondasinya oleh cucu Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam, yakni Nabi Ya`qub bin Ishaq bin Ibrahim. Keturunan berikutnya, Nabi Daud 'Alaihis Salam membangun ulang masjid itu. Lalu, diperbaharui oleh puteranya, Nabi Sulaiman 'Alaihis Salam (tahun 960 SM). Mereka para nabi membangun kembali Masjid Al-Aqsha untuk tempat mendirikan shalat di dalamnya, bukan sebagai kuil sinagog seperti yang diklaim Zionis.

Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai khatamun nabiy (penutup para nabi) menelusuri jejak Masjid Al-Aqsa, yang pernah dibangun para nabi sebelumnya, lewat perjalanan isra mi’raj dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Masjid Al-Aqsa menempun jarak lebih kurang 1.500 km dalam satu malam. Di Masjid Al-Aqsha inilah atas mukjizat Allah, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengimami para nabi sebelumnya.

Waqaf Muslimin

Khalifah Umar bin Khattab membebaskan kembali Masjid Al-Aqsha (tahun 638 M.) seusai Perang Yarmuk dari penjajahan orang di luar Islam yang memang bukan haknya. Umar membangunnya kembali dengan kayu di atas pondasi aslinya.

Khalifah Umar mewaqafkannya untuk umat Islam, agar jangan sampai diperjualbelikan dan jatuh ke tangan orang di luar Islam. Kemudian bangunan fisik Al-Aqsha disempurnakan dengan batu permanen pada jaman Mulkan Al-Walid bin Abdul Malak (705 M.) dengan bentuk yang sekarang ini kita lihat.

Di bawah kepemimpinan Islam, Palestina berada dalam perdamaian dan ketertiban, penuh toleransi antarpenduduknya, hidup bersama dalam damai dan ketertiban. Kebijaksanaan dan kebaikan ditunjukan Umar kepada penduduk daerah ini, tanpa membeda-bedakan agama mereka menandai sebuah peradaban yang indah.

Generasi pewaris waqaf berikutnya adalah Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi tatkala memasuki kawasan Al-Aqsha (tahun 1187 M.) dan membebaskannya dari penjajahan keduakalinya. Dengan pembebasan tentara Perang Salib, Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua akan dibantai. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin untuk meninggalkan Palestina. Sedangkan umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.

Karen Armstrong, Penulis ‘A Short Story, Jerusalem, A History of God’, menggambarkan pembebasan kedua kalinya itu. Kata Amstrong, "Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai pembebas dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan memimpin kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Dia tidak dendam untuk membalas pembantaian sebelumnya."

Pada masa Sultan 'Abdul Hamid II (tahun 1876-1911 M.) Dinasti 'Utsmaniyah, Zionis memulai rencana jahatnya hendak merebut tanah Palestina. Ditandai dengan Konferensi Zionis Pertama di Basel (1897) dengan agenda utama pendirian negara israel Yahudi di Propinsi Palestina, yang waktu itu masih di bawah kepemimpinan Utsmaniyah.

Abdul Hamid II walaupun dalam kondisi sakit, krisis ekonomi, dan timbulnya benih-benih perpecahan internal umat Islam, menolak mentah-mentah bujukan Dr. Theodore Hertzl, bapak Zionis, yang hendak membeli tanah waqaf Palestina dengan harga setinggi-tingginya.

Abdul Hamid II berkata tegas, "Saya tidak akan bisa mundur dari tanah suci Palestina ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah waqaf milik umat (Islam). Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan tanah ini. Mereka telah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka."

Klaim Zionis

Pakar sejarah Zionis Maer bin Dov menyebutkan, penggalian situs yang terjadi saat ini di Maghariba Al-Aqsha adalah ilegal dan lokasi itu tidak cocok untuk dilakukan penggalian situs. Soal klaim bahwa di lokasi Masjid Al-Aqsha terdapat situs bersejarah peninggalan Yahudi, itupun sebenarnya mitos yang sudah dibatalkan oleh penelitian sejarah Israel sendiri.

Sebuah lembaga penelitian modern, Jerussalem Center milik Israel, pernah melakukan penelitian detail di sekitar Tembok Al-Buraq dekat dengan pintu Maghariba. Hasilnya, mereka menegaskan bahwa seluruh wilayah Masjid Al-Aqsha termasuk yang disebut Tembok Ratapan atau Tembok Al-Buraq adalah situs sejarah Islam saja, tak ada kaitannya dengan sejarah Yahudi. Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Samuel Berigo, doktor arkeolog Israel.

Tahun 1930, sejumlah utusan Islam juga pernah membentuk tim segitiga untuk membahas lokasi Tembok Al-Buraq. Hasil kajian sejarah mereka menyebutkan, “Hanya sejarah Islam dan kaum Muslimin saja yang seharusnya memiliki lokasi Tembok Gharbi yang juga dikenal dengan Tembok Menangis. Itu karena lokasi tembok itu merupakan bagian dari wilayah Al-Haram yang juga merupakan peninggalan sejarah Islam". Rekomendasi tim segitiga itu mendapat apresiasi dari lembaga internasional, karena hasil penelitiannya dianggap sesuai dengan standar ilmiah sejarah, netral dan objektif. Tapi ambisi serakah penjajah Zionis tidak pernah menggubris masalah itu.

Maka menjadi tampak jelas bahwa alasan pokok membangun sinagog dengan berusaha membongkar Masjid Al-Aqsa, bukanlah bermotivasi agama yang bersih, dalih sejarah, atau hendak memuliakan Nabi Sulaiman mentauhidkan Allah dan menebar kedamaian. Akan tetapi sebenarnya karena Zionis Israel menganggap bahwa Masjid Al-Aqsa merupakan lambang kepemimpinan khilafah, simbol solidaritas umat, motivator pembebasan, dan inspirator perjuangan menentang kezaliman bangsa penjajah dan penjarah. Hal ini menjadi penghalang utama ambisi membangun Zionis Raya yang mereka cita-citakan.

Al-Aqsha Hak Milik Umat Islam

Al-Quran telah memuat dokumen khusus tentang kepemilikan Masjid Al-Aqsha.

سُبۡحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلاً۬ مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُ ۥ لِنُرِيَهُ ۥ مِنۡ ءَايَـٰتِنَآ‌ۚ إِنَّهُ ۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

Artinya : “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsha yang diberkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan ayat-ayat Kami, bahwasanya Dia itu Maha Mendengar dan Maha Melihat “. (QS Al-Isra : 1).

Ayat mulia ini memberikan amanat kepada kaum muslimin untuk menjaga rumah-Nya yang suci. Allah memberikan amanah tanggung jawab, pemeliharaan, dan penjagaan dari srtiap penodaan dan perubahan kepada kaum muslimin.

Ayat ini menjadi dokumen abadi yang mengingatkan kaum muslimin akan tanggung jawabnya terhadap haknya atas Masjid Al-Aqsha dan sekitarnya. Al-Aqsha adalah hak kaum muslimin seluruh dunia tanpa membedakan asal, suku, ras, golongan, warna kulit, kekayaan dan jabatan (Al-Aqsha Haquna).

Al-Aqsha di Palestina adalah kiblat pertama kaum muslimin, sebelum Allah memerintahkan mengubah arah kiblat ke Masjid Al-Haram. Sebab paling kuat disyari’atkannya shalat menghadap Bait Al-Maqdis Al-Aqsha adalah banyaknya berhala di Baitullah Makkah waktu itu. Rasulullah shalat menghadap Masjid Al-Aqsha sewaktu berada di Mekkah sebelum Hijrah. Setelah hijrah Rasulullah shalat menghadap Aqsha selama 16 bulan, kemudian Beliau shalat menghadap Ka’bah (Masjid Al-Haram) Mekkah.

Keutamaan Al-Aqsha juga disebutkan di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di antaranya.

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَـةِ مَسَاجِدَ: اَلْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُـوْلِ صلى الله عليه وسلم وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

Artinya : “Tidak boleh mengkhususkan melakukan perjalanan kecuali kepada tiga Masjid. Yaitu Masjid Al-Haram (di Mekkah), dan Masjid Ar-Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan Masjid Al-Aqsha”. (HR Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Landasan aqidah ayat dan hadits di atas menunjukkan ketinggian masjid Al-Aqsha di dalam Islam, menekankan pentingnya kaum muslimin memperhatikan Masjid Al-Aqsha serta menekankan tanggung jawab umat Islam di seluruh dunia dalam membela dan menjaga masjid tersebut. Tidak boleh membiarkan atau melalaikannya dikuasai oleh yang bukan haknya, seperti berlangsung saat ini.

Dalam reorientasi Al-Aqsha Haqquna, Khalifah Rasyidah Umar bin Khattab telah melakukan perjalanan ke Palestina, ketika penduduk negeri itu mensyaratkan bahwa yang berhak menerima penyerahan Palestina harus Umar sendiri selalu pemimpin umat Islam (Khalifah).

Di dalam risalah Filistin Dirasat Manhajiah fi Al-Qodhiyah Al-Filistiniyah karya DR. Muhsin Muhammad Shalih disebutkan, Khalifah mengadakan perjanjian tertulis “Al-Alahdah Al-Umariyah”, bahwa warga Nasrani Palestina memberikan mandat kepada Khalifah Umar : diri mereka, harta mereka, orang yang sembuhnya, dan semua kepecayaan di sana, untuk dijaga dan dipelihara oleh Islam.

Semangat Al-Aqsha Haquna serupa diwarisi oleh Komandan Perang Salahuddin Al-Ayyubi yang bersumpah kepada dirinya untuk tidak akan tersenyum selama hidupnya sebelum membebaskan Bait Al-Muqaddas Al-Aqsha, dari kekuasaan tentara Salibis yang juga bukan haknya. Hingga tanggal 27 Rajjab 573 H. / 2 Oktober 1187 Al-Aqsha dapat dibebaskan kembali dari penjajahan yang telah menguasai selama 88 tahun.

Kebangkitan Khilafah

Sebagai bentuk solidaritas sesama umat muslim dan sesama manusia yang punya hati nurani, akal budi, dan nilai-nilai relegius. Sudah selayaknya kita ikut memikirkan dan membantu bagaimana Masjid Al-Aqsha dapat dikembalikan pada posisi aslinya kepada kaum muslimin sebagai pemiliknya.

Menepis klaim Zionis terhadapnya, di antaranya melalui sosialisasi media, tulisan-tulisan opini publik, dan share jejaring sosial. Membuka mata dunia tentang kejahatan Zionis Israel.

Upaya-upaya tersebut terangkai dan terpimpin di bawah panji Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti jejak-jejak kenabian).

Dalam analisis orientalis Barat sendiri yang antikhilafah memandang Khilafah sebagai raksasa tidur kini tengah mulai menggeliat. Hal ini membuat Barat secara terus-menerus berusaha mencari jalan untuk mendistorsi dan mempolitisir citra Khilafah ala minhajin nubuwwah yang bersifat rahmatan lil ‘alamin (membawa kasih sayang, kedamaian, kesejukan bagi segenap alam). Mereka coba ciptakan citra negatif yang mengarah pada fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme.

Sinyal kebangkitan khilafah adalah secercah harapan kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang amat agung dan tidak ada yang melebihi keagungannya (ya’lu wala yu’la ‘alaihi). Amin.
Ali Farkhan Tsani
Redaktur MINA | Mi’raj News Agency

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top