"Untuk Kesatuan dan Kemenangan Ummat Islam"

VIVAnews - Insiden pengeboman di Boston oleh dua kakak beradik asal Chechnya tidak serta merta memperburuk citra Islam di mata warga Amerika. Sebagian besar mereka menganggap bahwa agama Islam tidak memicu kekerasan.

Hal ini terungkap dalam survei terbaru oleh lembaga Pew Research Center for the People and the Press bulan ini. Survei dilakukan pada 1-5 Mei lalu yang melibatkan 1.504 orang dewasa dengan margin of error 2,9 persen.

Dalam survei, sebanyak 46 persen responden mengatakan bahwa Islam tidak memicu kekerasan. Pendapat ini sama dengan survei tahun 2002, setahun setelah serangan 9/11, yang tidak mengkambinghitamkan Islam dalam serangan teror. Saat itu, ada 51 persen responden yang menolak Islam dihubungkan dengan kekerasan.

Sementara itu hanya 42 persen responden mengatakan bahwa Islam, dibanding agama lainnya, bisa memicu kekerasan. Angka ini meningkat dua persen dari survei tahun 2011. Sebelumnya pada tahun 2009, angka ini sempat turun di angka 38 persen.

Pew dalam rilisnya mengatakan bahwa mayoritas pemuda tidak percaya Islam berhubungan dengan kekerasan. Sementara itu, setengah dari responden usia 50 tahun ke atas meyakini Islam memicu kekerasan.

Kendati demikian, warga AS masih merasa bahwa Muslim jadi korban diskriminasi. Sebanyak 45 persen responden mengatakan hal tersebut. Sementara 39 persen di antaranya mengatakan Muslim diperlakukan sama diskriminatifnya dengan gay, lesbian, dan hispanik.

Kedua pelaku pengeboman Boston Tamerlan dan Dzhokhar Tsarnaev mengaku melakukan tindakan nekat itu atas dasar agama. Dzhokhar yang tertangkap hidup-hidup mengatakan bahwa pembuatan bahan peledak mereka pelajari dari majalah al-Qaeda, Inspire.
Sebanyak tiga orang tewas dalam ledakan pada ajang Boston Marathon itu. Lebih dari 200 orang  terluka, beberapa terpaksa diamputasi. (eh)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top